Aku takut kalau ternyata selama ini kamu membenciku, namun
masih bersikap baik padaku. Sampai aku tahu, bahwa engkau hanya tersenyum
didepanku dan mengejek parah dibelakangku. Dan engkau masih tetap tersenyum
ramah, menawarkan sapan basa-basi dengan raut senyum yang memaksa. Lalu aku
akan membalas senyumanmu dengan juga sama –begitu kaku-. Kemudian aku akan
berlalu dengan cepat-cepat, sampai aku tak dapat melihat ekor matamu ataupun
kau tak mendengar langkah kakiku.
Aku tau, mengakui dan berkata jujur itu
terkadang sulit akibat rasa gengsi yang terlalu tinggi, terutama engkau, wanita
yang gengsinya lebih tinggi. Tapi aku mencoba mengerti, bahwa kau hanya manusia
yang sering berubah, berpikir lebih dari sebelumnya, dan berkalkulasi sebelum
mengambil keputusan. Engkau begitu kan ? bukan sesorang yang ketika mendapatkan
sesuatu diambil, kemudian dibuang dengan sia-sia.
Dan untukmu, yang mengira aku masih mencintainya –sampai kau
mencari bukti aku melakukannya- tetaplah menjadi temanku. Lalu aku akan berucap,-jaga
dia baik-baik- karena dia sahabat tengah malamku, tempat keluh kesahku, mentor
setiaku, dan seseorang yang selalu mau direpoti dengan hal-hal yang begitu
sepele. Kemudian aku akan pergi dengan seseorang yang baru, dan aku akan
mengucapkan selamat tinggal padamu, meski kau masih bersikeras bahwa aku
mencintainya. Kau tidak bisa menerimanya dan masih beranggapan bahwa aku
berbohong, yang patut dibenci adalah aku – dan kau dalam hal ini adalah orang
yang paling merana karena sesorang yang kau cinta juga dicintai oleh sahabatmu,
dan aku begitu hina dimatamu sedangkan engkau adalah orang yang meninggikan
dirimu didepanku sebagai manusia yang arif bijaksana. Begitukah ?