Untukmu yang selalu jadi korban (Nona Shannon Sinatra)


Bolehkah aku mengucapkan kata maaf ?

Kalau boleh, aku ingin meminta maaf di segala aktifitasku yang tidak pernah menghiraukan perasaanmu. Maaf karena selalu menjadikanmu yang kedua. Maaf untukmu yang hatinya sering aku abaikan. Maaf untuk janji-janjiku yang selalu aku hilangkan secara tiba-tiba tanpa pernah meminta persetujuanmu.

Masih bolehkan aku mengucap maaf ?

Kalau boleh, aku berjanji untuk selalu mengingat setiap apa yang kamu ucapkan. Aku berjanji untuk selalu meminta pendapatmu pertama kali untuk segala aktivitasku. Aku berjanji akan menggunakan reminder yang setiap jamnya mengingat akan janjiku padamu. Dan bila aku masih ingkar, kamu boleh mengejekku dengan siapa saja seperti yang selama ini sering kau lakukan. Tentu saja, sebagai balasannya aku akan menunduk pasrah, tidak akan membangkang atau mengejek balik padamu. Aku akan tersenyum malu-malu sehingga mampu membuatmu tertawa.
Mampukah kamu masih memberiku maaf ?

Kalau tidak mampu, aku tak apa. Toh selama ini aku yang keterlaluan. Aku yang menghiraukanmu ditengah-tengah sepi sedangkan aku berkeliaran sendiri. Toh aku yang menyepelekan semua ucapanmu sehingga kamu pun sekarang malas berucap. Aku mengakui, iya aku yang salah. Aku memang terlalu banyak salah padamu. Maaf

Maaf kan aku shannon, maaf untukmu yang selalu mengkhawatirkan aku dan bodohnya aku malah mengabaikanmu. Sekarang, kalau boleh jujur aku takut kehilanganmu. Aku takut tidak ada yang meneleponku lagi. Aku takut kehilangan orang yang membaweliku setiap hari. Aku takut merindumu, orang yang meneloponku lebih banyak dari pacarku sendiri. Aku takut, dan maaf. Aku merindukanmu Shannon Sinatra.

Maafkan temanmu yang tidak tahu malu ini :”

Untuk kenanganku, bukan kenanganmu

Sekarang, di tempat ini sedang hujan. Tempat kita dahulu menghabiskan senja bersama. Hujan turun dengan perlahan, lama, sedikit demi sedikit. Menumpahkan isinya secara lamban. Ya di sudut itu, kita sering melihat hujan. Menikamati udara yang teraerosol oleh bau tanah. Kamu suka itu. Katamu, bau paling enak yang pernah kamu nikmati adalah bau tanah setelah hujan. Kamu juga pernah berkelakar, akan membeli segepok parfum bila ada yang menjual harum hujan itu. Dan aku tertawa, menikmati setiap detik percakapan kita. Aku akan selalu ingat setiap kata yang keluar dari mulutmu.

Sekarang disini, disaat hujan. Aku kembali mengingatnya. Memutar ulang kenangan yang sempat aku kubur. Kenangan bersamamu. Kenanganku, bukan kenanganmu. Aku takut menyebut itu kenangan kita, karena hanya aku yang masih menyimpannya. Kamu? mungkin kamu sudah lupa memiliki kenangan denganku atau bahkan bersamaku dianggap tak pernah ada? aku berharap pilihan pertama, karena paling tidak aku pernah mengisi hari-harimu walau sementara. Memang sebentar, tapi bagiku itu membekas.

Sekarang, bagaimana denganmu? Bahagiakah bersamanya? Semoga iya. Karena aku pun akhirnya menemukan alasan untuk bahagia, meskipun tanpamu. Ya, aku bahagia bersama kenangan yang tersimpan rapi dalam memori. Asal kamu tahu, bahagiaku adalah segal hal tentangmu. Tidak, aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Aku berterimakasih untuk mengenalmu-berdekatan denganmu-memiliki hubungan-bermasalah-hubungan berakhir. Semua hal itu mendewasakanku. Membuatku mengerti bahwa berhubungan denganmu layak dijadikan kenangan, seperih maupun sesingkat apapun itu. Aku bahagia.


Sekarang ini, terimakasih hujan. Terimakasih mengingatkanku padamu, pada kenanganku. Sekali lagi, kenanganku bukan kenanganmu.

iseng

Selamat sore guys


Kemarin aku iseng ikutan #30Harimenulissuratcinta. Ini hari keduaku mengirim surat cinta, dan kedua-duanya di post :* seneng deh rasanya. Silahkan yang pengen melihat, ini linknya….

http://30harimenulissuratcinta.poscinta.com/2015/02/untuk-seseorang-yang-menganggapku-denial.html?spref=tw
http://30harimenulissuratcinta.poscinta.com/2015/02/movember-ucapmu.html?spref=tw

Movember ucapmu

Sore,

Ini kali kedua aku mengirimkan surat ini padamu, seseorang yang mengagnggapku denial dan menyuruhku untuk segera berpindah. Oh, memang kamu tidak secara langsung memaksaku untuk melupakanmu, namun kalimat “yang sudah terjadi ya sudahlah, tidak perlu disesali maupun diungkit lagi’ itu membuatku mengerti. Kita memang telah berakhir, bahkan sebelum aku memulai. Kita baru berjalan menuju pangkal, yang menurutmu itu ujung. Aku tahu, semua sudah berakhir ketika aku baru membuka hati.

Aku memang terlambat dan cukup menyesal. Menyia-nyiakanmu dalam waktu yang cukup lama adalah sebuah kesalahan. Aku layak untuk diusir, aku pun paham. Namun bisakah engkau masih menyisakan ruang kosong untukku ? bukan, bukan sebagai seseorang yang istimewa. Hanya sebuah tempat seperti temanmu yang lain, ya temanmu tidak lebih. Aku berjanji untuk mencukupkan porsi sebagai teman. Itupun kalau memang kamu berkenan. Sungguh, aku tidak akan merengek lagi. Tidak akan memintamu membuat mie goreng ijo yang selalu aku utarakan, atau tidak akan ngeyel lagi. Aku berjanji akan menjadi teman yang penurut.

Dan memang benar kan, aku menjadi penurut selama ini ? penurut! Melihatmu dengan senyum ketika engkau mampu mengubah bulan November gelapmu menjadi movember. Ya, engkau menemukan seseorang yang baru. Menggantikanku direlung hatimu. Aku bahagia, walau hanya sebatas kata. Ada sesak disana, mengalir merana. Aku memang tidak mempunyai hak lagi atasmu apalagi setelah kalian mengikrarkan hubungan kalian didepanku. Kamu tahu ? ada tangkai yang patah bila kamu mendengar dengan seksama.

Kamu berkata akan menjaganya sepenuh hati, tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Katamu juga dia berbeda. Dia dewasa, dia mengerti segalanya. Dia dia dia dia dia……...sepertinya dia mampu mebuatmu terpesona. Dan memaksaku menjauhimu dengan segera. Ah aku tau, porsiku hanya teman. Teman. Ingat itu!


Mungkin memang Movember buatmu, tapi aku tetap menganggapnya sebagai November. Bulan aku dilahirkan di bumi, dan juga bulan aku harus berdiri sendiri.

Untuk seseorang yang menganggapku Denial

Sore kamu, maaf telah lancang mengalamatkan surat ini padamu. Tidak, aku tidak bermaksud untuk mengungkit kenangan lama kita. Aku hanya ingin menjelaskan yang dahulu terlalu sulit untuk aku ungkapakan. Ya tentang denial yang jelas kau tujukan padaku.

Aku masih ingat betapa sakitnya dianggap menjadi pembohong untuk seseorang yang berarti waktu itu. Ya, hanya waktu itu. Dalam kurun waktu dua bulan saja, tak lebih. Kita memang tidak bisa disebut memiliki hubungan yang serius, namun bukan berarti aku bukan siapa-siapa. Ya kita dekat, terlalu dekat menurutku. Hingga ketika kita berpisah ada rasa kehilangan yang menyelimuti. Kehilangan sebuah teman yang menemani dikala senja, terlalu sulit bahkan untuk meninggalkan kesan aku baik-baik saja. Asal kamu tahu, aku tidak baik-baik saja. Bahkan terkadang aku mulai ketakutan. Aku takut melihat ponsel, karena mengingatkan pesan-pesan pendek darimu. Aku bahkan takut melihat media social, aku takut mereka menganggu proses usaha ‘baik-baik saja’ ku. Meskipun itu tidak banyak membantu.

Tentang denial, sebenarnya aku tidak pernah melakukan itu. Kamu tahu kan, aku bahkan terlalu gugup untuk bertegur sapa dikala kita bertemu. Intensitas kegiatan memang memaksa kita untuk sering bertatap muka. Apalagi semenjak aku bergabung dengan organisasi itu, organisasi yang kau pimpin.

Memang beberapa waktu aku seperti anak kecil yang memaksamu untuk terus memperhatikanku. Aku kira berhubungan dengan seseorang yang lebih dewasa akan membuatku berfikir logis, dan menghilangkan sifat buruk itu. Namun ternyata, berhubungan denganmu seseorang yang menyanyangiku malah membuatku terlena. Begitu manja kan aku waktu itu ? terlebih aku belum sepenuhnya meninggalkan seragam abu-abu. Aku berbunga, dan kamu pun mulai muak. Mungkin kamu merasa bosan, dan sayangnya kamu tidak berbagi denganku. Salahku juga karena aku tidak pernah memperhatikanmu. Aku selalu fokus pada apa yang aku inginkan, apa yang aku lakukan dan bagaimana kau harus ada dalam hal tersebut.

Kamu berkata aku denial, aku tidak pernah jujur terhadap yang aku rasakan. Aku tidak bisa berbagi apa yang sebenarnya aku lakukan. Katamu juga, aku selalu menghindar untuk bertemu maupun berjalan menyusuri kota bersamamu. Bukan seperti yang kau tuduhkan, aku selalu ingin bertemu, bertegur sapa, menanyakan segala hal tentang mu. Tapi aku takut, aku takut disaat kita bersama ada seseorang yang melihat. Seseorang yang akan membuat kacau diorganisasi yang engkau pimpin. Aku takut menimbulkan berita yang merusak citramu. Aku menyayangimu dengan caraku. Dengan memperhatikanmu dari ekor mata yang mengikuti, dengan ponsel yang selalu berdenting pada waktu tertentu/ dan tentu saja, dengan chat-chat ringan kita di media social.
Maaf, aku tidak bisa mengungkapakan bahwa aku juga merasa kehilangan waktu itu. Maaf karena setelah itu aku memintamu untuk tidak menghubungiku lagi.

    
 
celeochrom Blog Design by Ipietoon